Diceritakan dalam buku-buku sastra. Imam Syaibani menceritakan
dari seorang tua Bani ‘Amir, katanya : “Pada suatu ketika kami dapat musibah
mengalami kemarau sehingga tanaman dan ternak kami binasa. Seorang laki-laki
diantara kami pergi dengan keluarga ke Hirah lalu ditinggalkannya keluarganya
disana. Katanya, ‘Tunggu aku di sini sampai aku kembali!’”
Kemudian diabersumpah tidak akan kembali kepada mereka, kecuali
setelah berhasil memperoleh harta untuk mereka, atau dia mati. Maka disiapkannya
perbekalan, lalu dia berjalan sepanjang hari. Ketika hari sudah malam dia sampai
ke sebuah kemah, di dekat kemah itu terdapat seekor anak kuda. Katanya,
“Inilah rampasanku yang pertama.” Lalu dihampirinya anak kuda itu dan
dilepaskan ikatannya. Ketika dia hendak mengendarainya, tiba-tiba terdengar
olehnya suatu suara memanggil. “Lepaskan anak kuda itu, dan pergilah
kamu!” Maka ditinggalkannya kuda itu kemudian dia terus pergi meninggalkan
tempat itu.
Tujuh hari tujuh malam lamanya berjalan. Akhirnya dia sampai ke
sebuah tempat peristirahatan unta. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah kemah
besar bertenda kulit. Menunjukkan kekayaan dan kemewahan pemiliknya.
Ketika hari hampir maghrib. Dia masuk ke dalam kemah, dan
didapatinya seorang tua yang sudah udzur (jompo). Lalu dia duduk di belakang
orang tua itu dengan sembunyi-sembunyi.
Tidak berapa lama kemudian, hari pun mulai gelap. Seorang
penunggang kuda (Al-Faris) bertubuh tinggi besar datang ke kemah. Dua orang
hamba sahayanya mengikuti dari kiri dan kanan dengan berjalan kaki. Mereka
menggiring kira-kira seratus ekor unta yang didahului oleh seekor unta jantan
yang besar. Bila unta jantan berlutut di tempat peristirahatan, berlutut pula
seluruh unta betina.
Sambil menunjuk seekor unta betina yang gemuk, Al-Faris berkata
kepada sahayanya, “Perah susu unta ini, kemudian suguhkan kepada Syekh
(orang tua)!”
Sahaya itu segera memerah susu unta tersebut semangkuk penuh,
lalu di hidangkannya kepada Syekh. Sesudah itu dia pergi. Orang tua itu meneguk
susu tersebut seteguk dua teguk, sesudah itu diletakkannya kembali. Kata si
Musafir, “Saya merangkak perlahan-lahan mendekati Syekh. Saya ambil bejana
di hadapannya, lalu saya habiskan semua isinya.” Kemudian sahaya datang
mengambil mangkuk susu. Dia berkata kepada majikannya, “Syekh telah
menghabiskan minumannya.”
Al-Faris (si penunggang kuda) gembira seraya berkata kepada
sahayanya, “Perah lagi susu unta ini!”, sambil menunjuk seekor unta
yang lain. Sahaya itu segera melakukan perintah majikannya dan menghidangkan
lagi semangkuk susu kepada Syekh. Syekh meminum susu seteguk lalu diletakkannya.
Kemudian mangkuk susu itu diambil oleh si musafir dan diminumnya separuh,
Katanya, “Saya enggan menghabiskannya, karena saya khawatir si penunggang
kuda menaruh curiga.”
Kemudian Al-Faris memerintahkan sahaya yang lain menyembelih
domba. Al-Faris memasak domba itu, kemudian memberi makan Syekh dengan tangannya
sendiri sampai dia kenyang. Sesudah Syekh kenyang, barulah Al-Faris makan
bersama-sama dengan kedua sahayanya. Tidak lama kemudian, mereka semua pergi
tidur.
Sedang mereka tidur nyenyak, aku pergi ke tempat unta jantan.
Lalu kulepas ikatannya, aku kendarai lalu pergi. Unta-unta lainnya mengikuti
unta jantan pergi dan aku terus pergi tengah malam itu. Setelah hari mulai
siang, aku melihat sekeliling. Ternyata tidak ada tampak orang menyusulku. Aku
terus berjalan sampai tengah hari. Pada suatu ketika aku menoleh ke belakang.
Tiba-tiba terlihat olehku di kejauhan suatu bayangan bergerak cepat menuju ke
arahku, bagaikan seekor burung yang amat besar. Semakin lama, bayangan itu
tambah dekat kepadaku dan tambah nyata. Akhirnya jelas bagiku, bayangan itu tak
lain adalah Al-Faris (si penunggang kuda) mencari untanya yang kubawa pergi. Aku
segera turun menambatkan unta jantan. Kemudian kukeluarkan anak panah dari
tabung dan kupasang pada busur. Aku berdiri dengan posisi membelakangi
unta-unta. Agak jauh di hadapanku berdiri Al-Faris. Dia berkata kepadaku,
“Lepaskan unta jantan!” Jawabku, “Tidak! Keluargaku kutinggalkan di
Hirah sedang kelaparan. Aku telah bersumpah tidak akan kembali kepada mereka
sebelum berhasil membawakan mereka makanan atau aku mati karenanya.”
Kata Al Faris, “Jika tidak kamu lepaskan, kubunuh kamu.
Lepaskan! Terkutuklah kamu!”
Jawabku, “Tidak! Tidak akan kulepaskan walau apa yang akan terjadi!.”
Kata Al Faris, “Celakalah kamu! Kamu Pencuri!”
Katanya pula melanjutkan, “Rentangkan tali buhul yang
ditengah." Dia membidik, lalu melepaskan anak panahnya tepat mengenai
sasaran bagai ditancapkan dengan tangan layaknya. Kemudian dipanahnya pula buhul
kedua dan ketiga tanpa meleset sedikit juapun. Melihat kenyatan itu, anak
panahku kumasukkan kembali ke dalam tabung. Aku berdiri dan menyerah. Dia datang
menghampiriku, lalu diambilnya pedang dan anak panahku. Katanya memerintahku
“Bonceng di belakangku!”
Aku naik membonceng di belakangnya. Dia bertanya,
“Menurutmu hukuman apa yang akan kujatuhkan terhadap dirimu?”
Jawabku, “Tentu hukuman berat!”
Dia bertanya pula, “Mengapa!”
Jawabku, “Karena perbuatanku yang tidak terpuji dan
menyusahkan engkau. Tuhan memenangkan engkau dan mengalahkanku!”
Katanya, “Mengapa kamu menyangka begitu? Bukankah kamu
telah menemui ‘Muhailil’ (bapakku) makan, minum dan tidur semalam
dengannya?”
Mendengar dia berkata ‘Muhailil’, aku bertanya kepadanya,
“Apakah engkau ini Zaid al-Khail?”
Jawabnya, “Ya!”
Kataku, “Engkau penawan yang baik.”
Jawabnya, “Jangan kuatir!”
Dia membawaku kembali ke perkemahanya. Katanya, “Demi
Tuhan! Seandainya unta-unta ini milikku sendiri, sungguh kuberikan semuanya
kepadamu. Tetapi sayang, unta ini milik saudara perempuanku. Tinggallah disini
barang dua tiga hari. Tidak lama lagi akan terjadi peperangan, dimana aku akan
menang dan memperoleh rampasan.”
Hari ketiga dia menyerang bani Numair. Dia menang dan
memperoleh rampasan hampir seratus ekor unta. Unta rampasan itu diberikannya
semua kepadaku. Kemudian ditugaskannya dua orang pengawal untuk mengawal
unta-unta itu selama dalam perjalanan sampai ke Hirah. Itulah karakter Zaid
al-Khail pada masa Jahiliyah. Adapun bentuk kehidupannya dalam Islam, banyak
ditulis orang dalam buku-buku sejarah.
Ketika berita mengenai munculnya nabi . Dengan dakwah yang
didakwahkannya terdengar oleh Zaid al-Khail, maka disiapkannya kendaraannya.
Kemudian diajaknya para pemimpin terkemuka dari kaumnya berkunjung ke Yatsrib
(Madinah) menemui Nabi Muhammad . Satu delegasi besar terdiri dari pemimpin kaum
pergi bersama-sama dengannya menemui Nabi yang mulia. Antara lain terdapat Zur
bin Sadus, Malik bin Jubair, Amir bin Juwain dan lain-lain. Setibanya di
Madinah, mereka terus menuju ke masjid Nabawi yang mulia dan memberhentikan unta
mereka di depan pintu masjid. Ketika mereka masuk ke Masjid, kebetulan
Rasulullah sedang berkhutbah di atas mimbar. Mereka tergugah mendengar
ucapan-ucapan Rasulullah, dan kagum melihat kaum muslimin diam mendengarkannya
dengan penuh perhatian.
Ucapan-ucapan Rasulullah dalam pidatonya itu, sangat berkesan
di hati Zaid al-Khair. Orang-orang serombongannya terbagi dua. Sebagian menerima
panggilan yang hak, dan sebagian yang lain menolak dengan sombong. Sebagian
mendambakan surga dan sebagian pasrah ke neraka. Melihat Rasulullah yang
berpidato mempesona pendengarnya, dikelilingi orang-orang mukmin yang
mencucurkan air mata kesedihan, timbul rasa benci dalam hati Zur bin Sardus yang
penuh ketakutan. Dia berkata kepada kawan-kawannya, “Demi Tuhan! Orang ini
pasti akan menguasai seluruh bangsa Arab. Demi Tuhan! Saya tidak akan membiarkan
kuduk saya dikuasainya selama-lamanya.”
Zaid al-Khail lain lagi. Ketika Rasulullah selesai berpidato,
ia berdiri diantara jamaah kaum muslimin. Zaid seorang laki-laki ganteng, cakap
dan berperawakan tinggi. Kalau menunggang kuda, kakinya tergontai hampir sampai
tanah. Dia berdiri dengan tubuhnya yang tegap dan berbicara dengan suaranya yang
lantang. Katanya, “Ya, Muhammad! Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah,
dan sesungguhnya engkau Rasulullah.”
Jawab Zaid, “Saya Zaid al-Khail bin Muhailil.”
Kata Rasulullah , “Tentunya Anda Zaid al-Khair, bukan lagi Zaid al-Khail. Segala puji bagi Allah yang membawa Anda ke sini dari kampung Anda, dan melunakkan hati Anda menerima Islam. Sejak itu Zaid al-Khail terkenal dengan nama Zaid al-Khair."
Kemudian Rasulullah membawanya ke rumah beliau, diikuti Umar bin Khatthab dan beberapa sahabat lain. Sesampainya di rumah Rasulullah, beliau melepaskan alas duduknya kepada Zaid. Tetapi Zaid al-Khair segan menerima dan mengembalikannya kepada beliau. Rasulullah melemparkannya sampai tiga kali, tetapi Zaid al-Khair tetap menolak, karena merasa rikuh duduk di alas duduk Rasulullah yang mulia.
Setelah Zaid duduk dengan tenang di dalam majelis, Rasulullah berkata, “Belum pernah saya mengenal seseorang yang ciri-cirinya berlainan daripada yang disebutkan orang kepadaku melainkan Anda seorang. Hai Zaid! Dalam diri Anda terdapat dua sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya.”
“Apa itu, ya Rasulullah?” tanya Zaid.
Jawab Rasululah, “Kesabaran dan penyantun.”
Kata Zaid, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanku memiliki sifat-sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian dia berkata lebih lanjut, “Berilah saya tiga ratus
penunggang kuda yang cekatan. Saya berjanji kepada Anda akan menyerang negeri
Rum dan mengambil negeri itu dari tangan mereka.”
Sebagian orang menemani Zaid, masuk Islam bersamanya. Ketika
Zaid dan orang-orang yang sepaham dengannya hendak kembali ke Nejed, Rasulullah
berkata, “Alangkah baiknya dia. Banyak keuntungan yang mungkin terjadi
seandainya dia selamat dari wabah yang berjangkit di Madinah.”
Saat itu Madinah Al-Munawarah sedang dilanda wabah demam panas.
Pada suatu malam Zaid al-Khair diserang penyakit tersebut. Zaid al-Khair berkata
kepada pengikutnya, “Singkirkan saya ke kampung Qais! Sesungguhnya antara
kita dengan mereka tidak ada permusuhan Jahiliyah. Tetapi demi Allah! Saya tidak
ingin membunuh kaum muslimin sehingga mereka mati kena wabah penyakitku
ini.”
Zaid al-Khair meneruskan perjalanan ke kampungnya di Nejed.
Tetapi sayang demamnya makin menjadi-jadi. Dia ingin menemui kaumnya di Nejed
dan mengharapkan agar mereka masuk Islam di tangannya. Dia telah bercita-cita
yang baik. Tetapi suatu cobaan mendahuluinya sebelum cita-citanya terlaksana.
Tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di perjalanan.
Sedikit sekali waktu terluang baginya sesudah dia masuk Islam, sehingga tidak
ada peluang untuk berbuat dosa. Dia meninggal tidak lama sesudah dia menyatakan
Islamnya dihadapan Rasulullah .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar