Ath-Thufail ibnul Amr ad-Dausi merupakan pemimpin kabilah Daus pada masa
Jahiliah. la juga salah seorang yang terpandang di kalangan Arab dan salah
seorang bangsawan yang berwibawa. Api dapurnya selalu mengepul dan jalan selalu
terbuka untuknya. Ia senang memberi makan orang yang lapar, melindungi orang
yang takut, dan memberi upah para pekerja. Di samping itu, ia juga seorang yang
sopan, cerdas, dan pintar, penyair yang halus perasaannya, jelas, dan manis
perkataannya. Seolah-olah kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya seperti
sihir.
Sumber :
- Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.
Ath-Thufail meninggalkan kampungnya, Tihamah, menuju Mekah.
Ketika itu terjadi pergolakan antara Rasul yang mulia dengan kaum kafir Quraisy.
Masing-masing menginginkan kemenangan dan berusaha mencari pendukung. Rasul
Sholallahu ‘alaihi wasalam berdoa kepada Rabbnya dan senjatanya adalah iman dan
kebenaran, sedangkan kafir Quraisy berusaha untuk menyebarkan ajakan mereka
dengan pedang dan menghalangi manusia mengikuti Muhammad dengan segala cara.
Ath-Thufail merasa dirinya memasuki pertempuran ini tanpa
persiapan apa pun dan tanpa ia sengaja. Padahal ia tidak pergi menuju Mekah
dengan tujuan itu dan tidak pernah terlintas di pikirannya mengenai pertentangan
antara Muhammad dan kafir Quraisy. Akibatnya, pertempuran itu pun menjadi
kenangan yang tak pernah terlupakan bagi ath-Thufail bin Amr ad-Dausi. Marilah
kita dengar urutan kisahnya yang menakjubkan ini.
Ath-Thufail mengisahkan bahwa pada suatu hari ia menginjakkan
kaki di Mekah. Tidak seorang pemimpin Quraisy pun mengenalku hingga mereka
menemuiku dan menyambut kedatanganku dengan meriah. Mereka memuliakanku
sebagaimana mereka memuliakan para pemimpin mereka. Kemudian, para pemimpin dan
pembesar Quraisy berkumpul bersamaku. Mereka berkata, “Ya Thufail, engkau
telah datang ke negeri kami. Ada seorang laki-laki yang menyatakan dirinya
adalah seorang Nabi. Ia telah menyusahkan urusan kami dan memecah belah kami.
Kami amat takut hal ini juga terjadi di kaummu sebagaimana yang kami alami
sekarang. Maka, janganlah engkau pernah berbicara dengannya. Janganlah engkau
dengarkan perkataannya. Sesungguhnya, ia memiliki ucapan seperti sihir yang
dapat memisahkan antara seorang anak dan bapaknya. Antara saudara dan saudaranya
yang lain. Antara seorang istri dan suaminya.”
Ath-Thufail mengatakan, “Demi Allah, mereka selalu
menceritakan keadaannya yang menakjubkan itu kepadaku, menakut-nakutiku, kaumku
dengan perbuatannya, sehingga aku pun terpengaruh untuk tidak mendekatinya,
tidak berbicara dengannya, dan tidak mendengarkan ucapannya sedikitpun. Ketika
aku pergi ke masjid untuk tawaf di sekeliling Ka’bah dan meminta berkah dari
berhala-berhala yang selalu kami agungkan dan kami berhaji untuknya, aku menutup
telingaku dengan kapas agar tidak mendengar ucapan Muhammad. Akan tetapi,
tatkala aku memasuki masjid, aku melihat seseorang sedang shalat di sisi Ka’bah
dengan shalat yang berbeda dengan tata cara shalat kami.
Melakukan ibadah yang berbeda dengan tata cara ibadah kami.
Pemandangan itu membuatku senang. Ibadahnya menakjubkanku dan aku merasa diriku
lebih rendah daripadanya. Sedikit demi sedikit, tanpa kusadari, aku
mendekatinya. Dan Allah menjadikan telingaku mendengar sebagian ucapannya. Aku
pun mendengar suatu ucapan yang amat baik." Aku pun berkata di dalam
hatiku, “Ibumu telah menghilangkanmu dengan kematian, ya Thufail. Padahal
engkau adalah seorang penyair yang cerdas dan pintar. Mengapa engkau tidak dapat
membedakan yang jelek dari yang baik. Apa yang menghalangimu mendengar
perkataannya? Jika yang dibawanya itu kebaikan hendaklah engkau terima, jika
jelek hendaklah engkau tinggalkan.”
Kemudian ath-Thufail tetap berada di sana hingga Rasulullah
pergi dari Baitullah. Ia pun membuntutinya sampai ke rumahnya. Ketika ia masuk
rumah, ia pun ikut masuk, lalu berkata, “Ya Muhammad, kaummu telah
menceritakan kepadaku tentangmu semuanya. Demi Allah, mereka selalu
menakut-nakutiku dengan perbuatanmu sehingga aku menutup telingaku dengan kapas
agar tidak mendengar perkataanmu. Tetapi Allah tetap memperdengarkan ucapanmu ke
telingaku. Dan aku mendengar sesuatu yang baik, maka katakanlah semuanya
kepadaku.”
Lalu Muhammad pun mengatakan semuanya, beliau membacakan surah
al-Ikhlas dan al-Falaq. Demi Allah, ath-Thufail telah mendengar perkataan yang
lebih baik daripada perkataannya dan ia tidak melihat suatu urusan pun yang
lebih adil daripada urusannya.
Ketika itu, ia membentangkan telapak tangan kepadanya dan
bersaksi bahwa tiada ilah (tuhan) melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, dan ia pun memeluk Islam.
Kemudian ath-Thufail menetap di Mekah beberapa saat. Ia belajar
darinya ajaran Islam dan menghafal ayat Al-Qur’an yang mudah baginya. Tatkala ia
berniat untuk kembali ke kaumnya, ia berkata, “Ya Rasulullah, aku adalah
seseorang yang ditaati dalam lingkunganku. Aku akan kembali kepada mereka dan
mengajak mereka untuk memeluk Islam. Berdoalah kepada Allah agar menjadikan
bagiku tanda yang akan membantuku mengajak mereka.”
Rasulullah pun langsung berdoa, “Ya Allah, jadikanlah
baginya sebuah tanda.”
Lalu ath-Thufail mendatangi kaumnya. Tatkala ia berdiri di
hadapan mereka, terpancarlah cahaya di antara kedua matanya seperti lampu
pelita. Ia berkata, “Ya Allah, jadikanlah pelita bukan pada wajahku, karena
aku khawatir kaumku mengira terjadi sesuatu di wajahku karena meninggalkan agama
mereka. Maka pindahkanlah pelita itu ke ujung cambukku, sehingga manusia
berlomba-lomba melihat cahaya di cambukku itu seperti lampu yang
tergantung.”
Kemudian ia menemui mereka di lembah. Tatkala ia turun,
bapaknya yang sudah tua menemuinya. Lalu ath-Thufail berkata, “Wahai
Bapakku, menjauhlah dariku, aku tidak lagi berada dalam agamamu dan engkau tidak
berada dalam agamaku.”
Lalu ayahnya berkata, “Ada apa wahai anakku
tersayang?” Ath-Thufail menjawab, “Aku telah memeluk Islam dan
mengikuti agama Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasalam .. “
Lalu ayahnya berkata lagi, “Wahai anakku, agamamu adalah
agamaku juga."
Lalu ath-Thufail berkata, “Sekarang pergilah, mandi dan
bersihkanlah pakaianmu, kemudian datanglah kepadaku agar aku ajarkan apa yang
aku ketahui.”
Kemudian ayahnyapun pergi, mandi, dan membersihkan pakaiannya.
Tidak lama kemudian, ia menemui ath-Thufail dan ia mengajarkannya tentang Islam
dan akhirnya, ayahnya pun memeluk Islam.
Setelah istrinya juga datang menemuinya, ia berkata, “Wahai
istriku, menjauhlah dariku. Aku tidak dalam agamamu dan engkau tidak dalam
agamaku.”
Lalu istrinya tersebut berkata, “Demi Bapak dan Ibumu, ada
apa wahai suamiku?”
Ath-Thufail menjawab, “Islam telah memisahkan agama kita.
Aku telah memeluk Islam dan mengikuti agama Muhammad Sholallahu ‘alaihi
wasalam .. “
Lalu istrinya berkata, “Agamamu adalah agamaku juga.”
Ath-Thufail berkata, “Sekarang pergilah dan bersihkan dirimu dari air Dzul
Syaara.”
Istrinya pun berkata, “Demi Bapak dan Ibumu, apakah engkau
takut kepada Dzul Syaara?"
Lalu ath-Thufail berkata, “Celaka engkau, wahai istriku,
dan Dzul Syaara. Pergilah dan bersihkanlah dirimu di tempat yang jauh dari
manusia. Aku akan melindungimu dari batu berhala itu.”
Kemudian istrinyapun pergi dan membersihkan dirinya. Kemudian
ia datang menemui ath-Thufail kembali dan ia mengajarkannya Islam dan akhirnya
istrinya pun memeluk Islam.
Setelah itu, ath-Thufail baru mengajak kaumnya, bani Daus,
untuk memeluk Islam. Akan tetapi, mereka amat lambat menerima ajakannya, kecuali
Abu Hurairah. Ia merupakan orang yang paling cepat menerima ajakannya untuk
memeluk Islam.
Setelah itu, ath-Thufail bersama Abu Hurairah datang menemui
Rasulullah di Mekah. Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam berkata kepadanya,
“Bagaimana dakwahmu, wahai Thufail?”
Ia menjawab, “Di hati mereka ada penyakit dan kekafiran
yang mendalam. Mereka (bani Daus) telah dikuasai oleh kefasikan dan
kemaksiatan.”
Lalu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam berdiri, berwudhu,
kemudian shalat dan berdoa kepada Allah. Abu Hurairah berkata, “Sungguh, aku
belum pernah melihat amal itu sebelumnya. Aku takut ia mendoakan kejelekan bagi
kaumku hingga mereka semua binasa.”
Ath-Thufail berkata, “Jangan khawatir.”
Lalu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam mulai berdoa,
“Ya Allah, berilah hidayah bagi kaum Daus. Ya Allah, berilah hidayah bagi
kaum Daus. Ya Allah, berilah hidayah bagi kaum Daus.”
Kemudian beliau menoleh kepada Thufail dan berkata,
“Kembalilah ke kaummu. Berlaku sopanlah kepada mereka, lalu ajak mereka
kepada Islam.”
Setelah itu, ath-Thufail selalu berada di bumi Daus dan
mengajak kaumnya kepada Islam hingga Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam
hijrah ke Madinah, selesai Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Lalu ath-Thufail
menemui Rasul Sholallahu ‘alaihi wasalam setelah mengislamkan delapan puluh
rumah dan mengajarkan mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah pun sangat senang,
sehingga beliau memberi bagian ghanimah hasil Perang Khaibar. Ath-Thufail
berkata, “Ya Rasulullah, jadikanlah kami pasukanmu yang sebelah kanan dalam
setiap perangmu, dan namailah kami dengan ‘Mabrur’.”
Setelah itu, ath-Thufail selalu bersama Nabi hingga terjadinya
Fathu Mekah. Ath-Thufail berkata, “Ya Rasulullah, utuslah aku kepada ‘Dzul
Kaffain’ berhala Amr bin Hamamah, agar aku membakarnya.”
Rasulullahpun mengizinkannya. Kemudian ia berangkat menuju
berhala itu bersama pasukan dari kaumnya. Tatkala ia sampai dan hendak
membakarnya, para wanita, anak-anak, dan kaum laki-laki telah mengelilinginya
untuk mencelakakannya. Mereka menunggu seruan bahwa “Dzul Kaffain”
sedang dalam bahaya.
Akan tetapi, ath-Thufail tetap pergi menuju letak berhala itu
di hadapan para penyembahnya. Ath-Thufail geram melihat berhala itu dan berkata
dengan lantang, “Wahai Dzul Kaffain, aku bukanlah penyembahmu. Kelahiran
kami lebih duluan dari kelahiranmu. Aku akan membakarmu.”
Tatkala api telah membakar berhala itu beserta berhala-berhala
lainnya yang ada di bani Daus, akhirnya kaum itu memeluk Islam dan menjalankan
ajarannya.
Selanjutnya, ath-Thufail ibnul Amr ad-Dausi senantiasa bersama
Nabi hingga beliau dipanggil Rabbnya ke sisi-Nya. Ketika kekhilafahan dipegang
oleh Abu Bakar, ath-Thufail beserta keluarganya tunduk dan taat kepada khalifah
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam.. Tatkala timbul gerakan para murtaddin
(mereka yang keluar dari Islam), ath-Thufail bersama anaknya, Amr, juga ikut
serta dalam memerangi Musailamah al-Kadzdzab. Ketika dalam perjalanan menuju
al-Yamamah, ia bermimpi. Ia berkata kepada teman-temannya, “Semalam aku
bermimpi, ceritakan kepadaku ta’birnya.”
Mereka bertanya, “Engkau bermimpi apa semalam?”
Ath-Thufail berkata, “Aku bermimpi bahwa kepalaku telah
dicukur habis. Lalu keluar seekor burung dari mulutku dan ada seorang perempuan
berusaha memasukkan diriku ke dalam perutnya, tapi anakku Amar meminta ikut
bersamaku tetapi ia tidak berdaya.”
Lalu temannya berkata, “Itu pertanda baik bagimu.”
Kemudian ath-Thufail berkata, “Demi Allah, aku juga telah
menakwilkan mimpi itu, bahwa kepalaku dicukur, itu berarti kepalaku dipenggal.
Adapun burung yang keluar dari mulutku adalah ruhku, sedangkan wanita yang
berusaha memasukkanku ke perutnya adalah bumi yang digali untuk menguburkanku.
Aku ingin sekali terbunuh dalam keadaan syahid. Adapun anakku yang meminta ikut
bersamaku adalah bahwa ia juga ingin mati syahid, tetapi insyaaAllah ia akan
menemuinya setelah itu.”
Ketika Perang Yamamah berkecamuk, sahabat mulia ath-Thufail
ibnul Amr ad-Dausi akhirnya syahid terbunuh, sedang anaknya, Amr tetap berperang
hingga ia terluka parah, tangan kanannya putus. Setelah perang usai, ia kembali
ke Madinah meninggalkan ayah dan tangannya.
Pada masa kekhalifahan Umar ibnul Khaththab, Amr bin Thufail
datang menemui Umar dengan membawa makanan. Para sahabat yang lain duduk di
sekelilingnya, kemudian ia mengajak hadirin untuk mencicipi makanannya. Ia
merasa amat senang. la berkata kepada Umar al-Faruq, “Ya Amirul
Mu’minin!”
Umar berkata, “Demi Allah, sungguh aku tidak merasakan
enaknya makanan ini sampai engkau mengadukkannya dengan tanganmu yang buntung.
Demi Allah, tiada seorang pun dari sebagian kaum ini yang akan masuk surga
kecuali engkau (Umar bermaksud karena tangannya).”
Dan Amr pun selalu mendambakan syahid semenjak bapaknya syahid.
Maka ketika terjadi Perang Yarmuk, Amr ikut di dalam peperangan itu. Ia semangat
berperang melawan musuh hingga akhirnya ia menemui syahid menyusul bapaknya.
Allah telah merahmati ath-Thufail bin Amr ad-Dausi. Ia
merupakan seorang syahid dan bapak syuhada.
- Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar