Nama lengkapnya adalah Nusaibah binti Ka’ab bin Amru bin Auf bin Mabdzul
al-Anshaiyah. Ia adalah seorang wanita dari Bani Mazin an-Najar.
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sumber :
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
Beliau wanita yang bersegera masul Islam, salah seorang dari
dua wanita yang bersama para utusan Anshar yang datang ke Mekah untuk melakukan
bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disamping memiliki sisi
keuatmaan dan kebaikan, ia juga suka berjihad, pemberani, ksatia, dan tidak
takut mati di jalan Allah.
Nusaibah ikut pegi berperang dalam Perang Uhud besama suaminya
(Ghaziyah bin Amru) dan bersama kedua anaknya dari suami yang prtama (Zaid bin
Ashim bin Amru), kedua anaknya bernama Abdullah dan Hubaib. Di siang harri
beliau membeikan minuman kepada yang terluka, namun tatkala kaum muslimin
porang-poranda beliau segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan membawa pedang (untuk menjaga keselamatan Rasulullah) dan menyerang musuh
dengan anak panah. Beliau beperang dengan dahsyat. Beliau menggunakan ikat
pinggang pada peutnya hingga teluka sebanyak tiga belas tempat. Yang paling
parah adalah luka pada pundaknya yang tekena senjara dai musuh Allah yang
bernama Ibnu Qami’ah yang akhirnya luka tersebut diobati selama satu tahun penuh
hingga sembuh.
Nusaimah sempat mengganggap ringan lukanyayang berbahaya ketika
penyeu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru agar kaum muslimin
menuju Hamraul Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan bajunya, akan tetapi
tidak mampu untuk menghentikan cucuran daahnya.
Ummu Umarah menutukan kejadian Perang Uhud demikian kisahnya,
“Aku melihat orang-oang sudah menjauhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hingga tinggal sekelompok kecil yang tidak sampai bilangan sepuluh orang.
Saya, kedua anakku, dan suamiku berada di depan beliau untuk melindunginya,
sementara orang-orang koca-kacir. Beliau melihatku tidak memiliki perisai, dan
beliau melihat pula ada seorang laki-laki yang mundu sambil membawa perisai.
Beliau besabda, ‘Beikanlah peisaimu kepada yang sedang berperang!’ Lantas ia
melempakannya, kemudian saya mengambil dan saya pegunakan untuk melindungi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu yang menyerang kami adalah
pasukan bekuda, seandainya mereka berrjalan kaki sebagaimana kami, maka dengan
mudah dapat kami kalahkan insya Allah. Maka tatkala ada seorang laki-laki yang
berkuda mendekat kemudian memukulku dan aku tangkis dengan pisaiku sehingga dia
tidak bisa berbuat apa-apa degan pedangnya dan akhirnya dia hendak mundu, maka
aku pukul urat kaki kudanya hingga jatuh teguling. Kemudian ketika itu Nabi
berseu, ‘Wahai putra Ummu imarah, bantulah ibumu… bantulah ibumu….’ Selanjutnya
putraku membantuku untuk mengalahkan musuh hingga aku berhasil
membunuhnya.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/412).
Putra beliau yang bernama Abdullah bin Zaid bekata, “Aku
teluka. Pada saat itu dengan luka yang parah dan darah tidak berhenti mengalir,
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Balutlah lukamu!’ Sementara
ketika itu Ummu Imarh sedang menghadapi musuh, tatkala mendenga seuan Nabi, ibu
menghampiriku dengan membawa pembalut dari ikat pinggangnya. Lantas dibalutlah
lukaku sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, ketika itu ibu
bekata kepadaku, ‘Bangkitlah besamaku dan tejanglah musuh!’Hal itu membuat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapakah yang mampu berbuat dengan apa
yang engkau pebuat ini wahai Ummu Imarah?’
Kemudian datanglah orang yang tadi melukaiku, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah yang memukul anamu whai Ummu
Imarah!” Ummu Imarah becerita, “Kemudian aku datangi orang tersebut kemudian aku
pukul betisnya hingga roboh.” Ummu Imarah melihat ketika itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum karena apa yang telah diperbuat olehnya
hingga kelihata gigi geraham beliau, beliau bersabda, “Engkau telah menghukumnya
wahai Ummu Imarah.”
Kemudian mereka pukul lagi dengan senjata hingga dia mati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu dan meyejukkan pandanganmu dengan kelelahan musuh-musuhmu dan dapat membalas musuhmu di depan matamu.” (Lihat Thabaqat Ibnu Sa’ad VIII/413 — 414).
Selain pada Perang Uhud, Ummu Imarah juga ikut pada dalam
bai’atur ridwan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang
Hudaibiyah, dengan demikian beliau ikut serta dalam Perang Hunain.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ada
bebeapa kabilah yang mutad dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab,
selanjutnya khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengambil keputusan untuk memerangi
orang-orang yang murtad tesebut. Maka, bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu
Bakar dan meminta ijin kepada beliau untuk begabung bersama pasukan yang akan
memerangi orang-orang yang mutad dai Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata
kepadanya, “Sungguh aku telah mengakui pranmu di dalam perang Islam, maka
berangkatlah dengan nama Allah.” Maka, beliau berangkat bersama putranya yang
bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim.
Di dalam perang ini, Ummu Imarah mendapatkan ujian yang berat.
Pada perang tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa
dengan bebagai macam siksaan agarr mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab.
Akan tetapi, bagi putra Ummu imarah yang telah tebiasa dididik untuk besabar
tatkala beperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak
kenal kompomi sekalipun diancam. Tejadilah dialog antaraya dengan
Musailamah:
Musailamah : "Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah?"
Hubaib : "Ya"
Musailamah : "Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?"
Hubaib : " Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu"
Hubaib : "Ya"
Musailamah : "Engkau besaksi bahwa aku adalah Rasulullah?"
Hubaib : " Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan itu"
Kemudian Musailamah al-Kadzab memotong-motong tubuh Hubaib hingga tewas.
Suatu ketika Ummu Imarah ikut serta dalam perang Yamamah besama
putranya yang lain, yaitu Abdullah. Beliau bertekad untuk dapat membunuh
Musailamah dengan tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yang telah membunuh
Hubaib, akan tetapi takdir Allah menghendaki lain, yaitu bahwa yang mampu
membunuh adalah putra beliau yang satunya, yaitu Abdullah. Ia membalas
Musailamah yang telah membunuh saudara kandungnya.
Tatkala membunuh Musailamah, Abdullah bekeja sama dengan Wahsyi
bin Harb, tatkala ummu imarah mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzab, maka
beliau bersujud syukur kepada Allah.
Ummu Imarah pulang dari peperangan dengan membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yang terakhir, yaitu Abdullah.
Sungguh, kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan
beliau. Abu Bakar ash-Shidiq penah mendatangi beliau untuk menanyakan kondisinya
dan menenangkan beliau. Khalid si pedang Islam membantu atas penghomatannya, dan
seharusnyalah kaum muslimin di zaman kita juga mengetahui haknya pula. Beliau
sungguh telah mengukir sejarahnya dengan tinta emas.
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar