Nama lengkapnya adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan
bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Naja
al-Anshaiyah al-Khazrajiyah.
Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan
cantik, dihiasi pula dirinya dengan ketabahan, kebijaksanaan, lurus
pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berpikir dan kefasihan serta
berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan
setiap lisan memuji atasnya. Karena, beliau memiliki sifat yang agung tersebut
sehingga mendorong putra pamannya yang bernama malik bin Nadhar untuk segera
menikahinya yang akhirnya melahirkan Anas bin Malik.
Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid mulai
muncul, orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk
bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan petama yang masuk Islam
awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan
yang akan menimpanya di dalam masyarakat jahiliyah penyembah behala yang beliau
buang tanpa ragu.
Adapun kalangan petama yang harus beliau hadapi adalah
kemarahan Malik, suaminya, yang barru saja pulang dari bepergian dan mendapati
istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak,
“Apakah engkau murtad dari agamamu?” Maka dengan penuh yakin dan tegar
beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku telah beriman.”
“Demi Allah, orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak,
hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah
sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam, maka
itulah mahar bagiku dan kau tidak meminta yang selain dari itu.” (Lihat
an-Nasa’i VI/144).
Sungguh ungkapan tesebut mampu menyentuh perasaan yang paling
dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol di
hatinya secara sempurrna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan
takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cedas, dan
apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darrinya untuk dipeisti, atau ibu
bagi anak-anaknya?”
Tanpa terasa lisan Abu Thahah mengulang-ulang, “Aku berada
di atas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak kecuali
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya Anas dan beliau
berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah
melalui tangannya, “Wahai Anas nikahkanlah aku dengan Abu Thalhah.”
Kemudian beliau pun dinikahkan Islam sebagai mahar. Oleh karena itu, Tsabit
meiwayatkan hadis darri Anas :
“Aku belum penah mendengarr seorang wanita yang paling
mulia dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i
VI/114).
Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thahah dengan kehidupan suami
istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami
istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan.
Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak
suami istri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai
seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan orang da’iyah.
Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui
istrinya yang utama, yakni Ummu Sulaim. sehingga, pada gilirannya beliau minum
dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu
Sulaim.
Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin malik yang
menceitakan kepada kita bagaimana pelakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan
komitmenya tehadap Alquran sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik
berkata:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempuna), sebelu kamu menafkahkan sebagian hata yang kamu cintai.”
(Ali Imran: 92).
Seketika Abu Thalhah bediri menghadap Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfiman di dalam
kitabnya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Dan
sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku
sedekahkan ia untuk Allah degan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di
sisi Allah, maka pergunakanlah sesukamu ya Rasulullah.”
“Bagus… bagus… itulah harta yang menguntungkan… itulah
harta yang mnguntungkan…. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku
memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu.”
Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada anak kerabatnya dan
Bani dari pamanya.”
Allah memuliakan kedua orang suami istri ini dengan seorang
anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi
penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan dengan tingkah lakunya.
Anak tersebut diberi nama Abu Umair. Suatu ketika anak tersebut bemain-main
dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut
bersedih dan menangis. Pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tesebut untuk meghibur dan
bermain dengannya, “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung
pipit itu?” (Al-Bukhari VII/109).
Allah berkehendak untuk menguji keduanya denga seorang anak
yang cakap dan dicintai. Suatu ketika Abu umair sakit sehingga kedua orang
tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahya apabila kembali
dari pasar, petama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah
bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenag sebelum
melihat anaknya.
Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan
itu anaknya meninggal. Maka Ibu mukminah yang sabar ini menghadapi musibah
tersebut dengan jiwa yang ridha dan baik. Sang ibu membaringkannya di temp[at
tidur sambil senantiasa mengulangi, “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un.” Beliau berpesan kepada anggota keluarganya, “Janganlah kalian
menceritakan kepada Abu Thalhah hingga aku sendiri yang menceritakan
kepadanya.”
Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih
sayangnya, kemudian dengan semangat menyambut suaminya dan menjawab seperti
biasanya, “Apa yang dilakukan oleh anakku?” Beliau menjawab, “Dia dalam
keadaan tenang.”
Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat,
sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia
tidak mau mendekat karena kahawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu
Sulim mendekati beliau dan memperssiapkan makan malam baginya, lalu beliau makan
dan minum, sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan yang lebih cantik
daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus,
berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanya pun berbuat sebagaimana
layaknya suami istri.
Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan
telah mencampurinya serta merasa tenang terhadap keadaan anaknya, maka beliau
memuji Allah karena abeliau tidak membuat risau suaminya dana beliau bioarkan
suaminya terlelap dalam tidurnya.
Tatkala di akhir malam beliau berkata kepada suaminya,
“Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu seandainya ada suatu kaum
menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka
mengambil titipan tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut
menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tentu saja tidak boleh.”
Kemudian Ummu Sulim berkata lagi, “Bagaimana pendapatmu jika keluarga
tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat
memanfaatkannya?” Abu Thalhah berkata, “Berarti mereka tidak
adil.” Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya anakmu adalah titipan dari
Allah dan Allah telah mengambil, maka tabahkanlah hatimua dengan meninggalnya
anakmu.”
Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata
dengan marah, “Kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari
tentang anakku?”
Beliau mengulangi kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan
kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) lalu bertahmid kepada
Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang.
Keesokan harinya beliau pergi menghadap Rasullah Shallallahu
‘alaihi wassalam dan mengabarkan kepadanya tentang apa yang telah terjadi,
kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Semoga Allah
memberkahi malam kalian berdua.”
Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang
akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas
bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam,
selanjutnya Anas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sulaim telah
melahirkan tadi malam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengunyah
kurma dan mentahnik bayi tersebut (yakni menggosokkan kurma yang telah dikunyah
ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata, “Berikanlah nama bayi ya
Rasulullah!” beliau bersabda, “Namanya Abdullah.”
Ubadah, salah seorang rijal sanad berkata, “Aku melihat dia
memiliki tujuh orang anak yang kesemuanya hafal Alquran.”
Di antara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama
dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka
aberdua yang manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata,
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan
berkata, ‘Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar’. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada
di rumahnya, namun beiau menjawab, ‘Demi yang mengutusmu dengan haq, aku tidak
memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang
lain, namun jawabannya sama. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Siapakah yang akan
menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya’. Maka berdirilah seorang Anshar
yang namanya Abu Thalhah seraya berkata, ‘Saya, ya Rasulullah’. Maka dia pergi
bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya
kepada istrinya (Ummu Sulaim), “Apakah kamu memiliki makanan?” Istrinya
menjawab, ‘Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak’. Abu Thalhah berkata,
‘ Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu
saya masuk, maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan
sudah aberada di tangan, maka berdirilah dan matikanlah lampu’. Hal itu
dilakukan oleh Ummu Sulaim. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut,
sementara kedua istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan
harinya keduanya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lalu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sungguh Allah takjub (atau
tertawa) terhadap fulan dan fulanah’.”
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Sungguh Allah
takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”
Di akhir hadis disebutkan, maka turunlah ayat:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
(Al-Hasyr: 9).
Abu Thalhah tak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau
bersegera memberikan kabar gembira itu kepada istrinya sehingga sejuklah
pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dlam Alquran yang
senantiasa dibaca. Selain berdakwah di lingkungannya, Ummu Sulaim juga turut
andil dalam berjihad bersama pasukan kaum muslimin.
Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
berperang bersama Ummu Sulaim dan para wanita dari kalangan Anshar, apabila
berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati
yang luka.”
Begitulah, Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau tidak pernah masuk rumah selain
rumah Ummu Sulaim, bahkan Rasulullah telah memberi kabar gembira bahwa beliau
termasuk ahli jannah.
- Kitab Nisaa’ Haular Rasuul, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar