Umair Bin Sa’ad Al Anshary, telah merasa hidup yatim dan miskin
sejak ia masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan
yang mencukupi. Tetapi untunglah ibunya segera kawin kembali dengan seorang
laki-laki kaya dari suku Aus, Al Julas bin Suwaid. Maka ‘Umair ditanggung oleh
Julas dan dikumpulkannya ke dalam keluarganya. Sejak itu ‘Umair menemukan
jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang bagus, keindahan belas-kasih, sehingga
‘Umair dapat melupakan bahwa ia telah yatim.
Umair menyayangi Julas sebagai layaknya sayang seorang anak
kepada bapak. Begitu pula Julas, sangat menyintai ‘Umair sebagai lazimnya cinta
bapak kepada anak. Setiap usia ‘Umair bertambah dan menjadi remaja, bertambah
pula kasih sayang dan simpati Julas kepadanya, karena pembawaannya yang cerdas
dan perbuatan mulia yang selalu diperlihatkannya, kehalusan budi pekerti, amanah
dan jujur yang senantiasa diperagakannya.
Umair bin Sa’ad masuk Islam dalam usia yang sangat muda,
kira-kira sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu Iman telah mantap dalam
hatinya yang masih segar, lembut dan polos. Karena itu Iman melekat pada dirinya
dengan kokoh. Dan Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan halus, bagaikan
mendapatkan tanah subur. Dalam usia seperti itu ‘Umair tidak pernah ketinggalan
shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ibunya senantiasa diliputi kegembiraan
setiap melihat anaknya pergi atau pulang dari masjid, kadang-kadang bersama-sama
suaminya dan kadang-kadang anaknya seorang diri.
Kehidupan ‘Umair bin Sa’ad di waktu kecil berjalan lancar,
senang dan tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga tiba
masanya Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang akan
meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya dengan ujian
yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.
Tahun kesembilan hijriyah Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. mengumumkan hendak: memerangi tentara Rum di Tabuk (Tabuk, suatu
tempat dalam wilayah pcmerintahan Syam. Di sana pernah terjadi peperangan yang
sangat terkenal antara kaum muslimin dengan tentara Rum). Beliau memerintahkan
kaum muslimin supaya bersiap-siap menghadapi peperangan tersebut. Biasanya bila
Rasulullah hendak pergi berperang, beliau tidak pernah mengumumkan sasaran yang
akan dituju, kecuali pada peperangan Tabuk. Rasulullah menjelaskan kepada kaum
muslimin sasaran yang dituju, karena akan menempuh perjalanan jauh dan sulit,
serta kekuatan musuh berlipat ganda, supaya kaum muslimin mengerti tugas mereka
mempersiapkan diri menghadapi peperangan tersebut. Di samping itu musim panas
telah mulai dengan suhu yang menyengat. Buah-buahan sudah berbuah dan mulai
masak. Awan bagus. Setiap orang cenderung hendak berlambat-lambat dan
bermalas-malasan. Namun kaum muslimin yang setia dan patuh memperkenankan seruan
Nabi mereka, mempersiapkan segala sesuatunya untuk perang dengan cepat dan
cermat.
Lain lagi golongan munafik. Mereka sengaja mengulur-ulur waktu.
Memandang enteng setiap hal yang penting-penting; membangkitkan keragu-raguan;
bahkan mencela kebijaksanaan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. dan
mengucapkan kata-kata beracun di majelis-majelis khusus mereka, yang menimbulkan
kekafiran.
Beberapa hari sebelum keberangkatan pasukan tentara muslimin ke
medan perang Tabuk, Umair bin Sa’ad yang baru meningkat remaja pulang ke
rumahnya sesudah shalat di masjid. Jiwanya sangat tergugah menyaksikan
pengorbanan yang sangat gemilang, tulus dan ikhlas, dari sego-longan kaum
muslimin, yang dilihat dan didengarnya dengan mata kepala dan telinganya
sendiri. Dia menyaksikan para wanita muhajirat dan anshar, dengan spontan
menyambut seruan Rasulullah.
Mereka tanggalkan perhiasan mereka seketika itu juga, lalu
diserahkannya kepada Rasulullah untuk biaya perang fi sabilillah. Dia
menyaksikan dengan mata sendiri. ‘Utsman bin ‘Affan datang membawa pundi-pundi
berisi ribuan dinar emas, lalu diserahkannya kepada Rasulullah. ‘Abdur Rahman
bin ‘Auf datang pula membawa dua ratus Uqiyah (1 Uqiyah = 1/2
tahil) emas dan diserahkannya kepada Nabi yang mulia. Bahkan dia melihat
seorang laki-laki menjual tempat tidur untuk membeli sebuah pedang yang akan
dibawa dan dipakainya berperang fi sabilillah.
Umair merasa bangga melihat kepatuhan dan pengorbanan yang amat
mengesankannya itu. Sebaliknya dia amat heran melihat orang-orang yang bersikap
acuh tak acuh melakukan persiapan untuk berangkat bersama-sama Rasulullah, dan
mengundur-ngundur waktu menyerahkan sumbangan kepada beliau, padahal orang itu
mampu dan cukup kaya melakukannya segerai mungkin. Karena itu jiwanya tergerak
hendak membangkitkan semangat orang-orang yang lalai dan acuh tak acuh ini.
Maka diceritakannya kepada mereka segala peristiwa yang dilihat
dan di-dengarnya mengenai sumbangan dan pengorbanan golongan orang-orang mu’min
yang patuh dan setia kepada Rasulullah, terutama cerita mengenai orang-orang
yang datang kepada Rasulullah dengan beriba-iba memohon supaya mereka diterima
menjadi anggota pasukan yang akan turut berperang. Tetapi Rasulullah menolak
permohonan mereka, karena mereka tidak mempunyai kuda atau unta kendaraan
sendiri. Lalu orang-orang itu pulang sambil menangis sedih, karena tidak
mempunyai kendaraan untuk mencapai cita-cita mereka hendak turut berjihad dan
membuktikan keinginannya memperoleh syahid.
Tetapi tatkala kaum munafik yang sengaja berlalai-lalai dan
acuh tak acuh ini mendengar cerita ‘Umair yang dikiranya akan membangkitkan
semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya ‘Umair menerima jawaban
berupa kata-kata yang sungguh-sungguh membingungkan pemuda cilik yang mu’min
ini. Mereka berkata, “Seandainya apa yang dikatakan Muhammad tentang
kenabian itu benar adanya, tentulah kami lebih buruk daripada keledai.”
‘Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak
menyangka sedikit juapun kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang
dewasa yang cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan
membesarkannya selama ini; kata-kata yang nyata-nyata mengeluarkan orang yang
mengucapkannya dari Iman dan Islam, beralih menjadi kafir seketika itu juga,
melalui pintu utama yang paling lebar.
Sementara kebingungan, anak itu juga memikirkan tindakan apa
yang harus dilakukannya. Dia mengambil kesimpulan, bahwa Julas diam, tidak turut
mengambil bagian dalam kegiatan persiapan perang, adalah suatu pengkhianatan
terhadap Allah dan Rasul-Nya; jelas membahayakan Islam, dan termasuk taktik kaum
munafik yang ditiup-tiupkannya sesama mereka. Sedangkan melaporkan dan
menyiarkan ucapan Julas, berarti mendurhakai orang yang selama ini telah
dianggapnya sebagai bapak kandungnya sendiri. Berarti pula membalas air susu
dengan tuba. Demikian analisa ‘Umair.
Anak kecil itu merasa dia harus berani mengambil keputusan
segera melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya atau diam seribu bahasa.
Dia memilih melapor. Lalu dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hai Pak
Julas! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai selain dari
Muhammad Rasulullah. Bahkan dia lebih saya cintai dari Bapak sendiri. Bapak
memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun tangan membahagiakan saya.
Tetapi Bapak telah mengucapkan kata-kata yang jika saya laporkan pasti akan
memalukan Bapak. Sebaliknya jika saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah
yang akan mencelakakan diri serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad
hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah, dan Bapak
akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri."
‘Umair bin Sa’ad yang masih anak-anak pergi ke masjid, lalu
dilaporkannya kepada Rasulullah kata-kata yang didengarnya sendiri dari bapak
tirinya, Julas bin Suwaid. Rasulullah meminta ‘Umair supaya tinggal lebih dahulu
dekat beliau. Sementara itu beliau menyuruh seorang sahabat memanggil Julas.
Tidak berapa lama kemudian Julas pun datang. Rasulullah memanggilnya supaya
duduk di hadapan beliau.
Beliau bertanya, “Betulkah Anda mengucapkan kata-kata
seperti yang saya dengar dari ‘Umair bin Sa’ad?”
Jawab Julas, “Anak itu dusta, ya Rasulullah saya tidak
pernah mengucapkan kata-kata demikian!”
Para sahabat memandang Julas dan ‘Umair bergantian, seolah-olah
mereka ingin membaca di wajah keduanya apa sesungguhnya yang tersirat dalam hati
mereka berdua. Lalu para sahabat berbisik-bisik sesama mereka, “Anak ini
sungguh durhaka. Dia jahat terhadap orang yang telah berjasa besar mengasuh dan
membesarkannya.”
Kata yang lain, “Tidak! Dia anak yang ta’at kepada Allah.
Wajahnya cantik dan elok memancarkan cahaya iman, menunjukkan dia
benar.”
Rasulullah menoleh kepada ‘Umair. Kelihatan oleh beliau wajah
anak itu merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata ‘Umair
mendo’a, “Wahai Allah! Turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku
benar.”
Kata Julas memperkuat pengakuannya, “Ya Rasululah
sesungguhnya apa yang saya katakan kepada Anda tadi itulah yang benar. Jika Anda
menghendaki, saya berani bersumpah di hadapan Anda. “Saya bersumpah
dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya saya tidak pernah mengucapkan kata-kata
seperti yang dilaporkan ‘Umair kepada Anda.”
Setelah Julas selesai mengucapkan sumpah, seluruh mata yang
hadir memandang kepada ‘Umair bin Sa’ad, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. diam sambil memicingkan mata, menunjukkan wahyu sedang turun. Para
sahabat memaklumi hal itu. Mereka pun diam tidak berbunyi sedikit juapun. Tidak
ada yang berkata-kata dan bergerak. Semua mata tertuju kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam.
Melihat Rasulullah kedatangan wahyu, Julas menjadi ketakutan.
Dia menyesal dan menengok kepada ‘Umair. Situasi seperti itu berlangsung sampai
wahyu selesai turun. Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membacakan
ayat yang baru diterima beliau :
“Mereka bersumpah dengan (menyebut nama Allah, bahwa mereka
tidak mengatakannya. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran,
dan telah menjadi kafir sesudah memeluk Islam, dan mereka memutuskan apa yang
tidak dapat. mereka jalankan (untuk membunuh Nabi Shallallahu alaihi wassalam.,
menghancurkan Islam dan kaum muslimin). Mereka mencela (Allah dan Rasul-Nya)
tidak lain hanyalah karena Allah telah mencukupi mereka dengan karunia-Nya.
Tetapi jika mereka tobat, itulah yang paling baik bagi mereka, dan jika mereka
membelakang, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di
dunia dan akhirat, dan mereka tidak mempunyai pelindung dan pembantu di muka
bumi.” (Taubah : 74)
Julas gemetar mendengar ayat yang sangat menakutkannya itu. Dia
hampir tak dapat bicara karena terkejut. Kemudian dia berpaling kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. seraya berkata, “Saya tobat, ya
Rasulullah . . . , saya tobat . . . ‘Umairlah yang benar, ya Rasulullah. Sayalah
yang dusta. Sudilah Anda memohonkan kepada Allah, semoga Dia menerima tobat
saya. Saya bersedia menebus kesalahan saya, ya Rasulullah!”
Rasulullah menghadapkan mukanya kepada ‘Umair bin Sa’ad yang
tiba-tiba bercucuran air mata gembira membasahi mukanya yang berseri oleh cahaya
Iman. Lalu Rasulullah gembira mengulurkan tangannya yang mulia menarik telinga
‘Umair dengan lembut seraya berkata, “Telingamu cukup nyaring, nak! Allah
membenarkan apa yang engkau dengar.”
Julas telah kembali ke dalam Islam dan menjadi muslim yang
baik. Para sahabat telah sama mengetahui bagaimana besarnya jasa baik Julas
mengasuh dan membesarkan ‘Umair selaku anak tiri. Dia bertanggung jawab penuh
sebagai layaknya bapak kandung ‘Umair. Setiap kali orang menyebut nama ‘Umair di
hadapannya, dia berkata dengan tulus, “Semoga Allah membalasi ‘Umair dengan
segala kebajikan, karena dia telah membebaskan saya dari kekafiran dan dari api
neraka.”
Kisah yang kita ceritakan ini, belum merupakan gambaran puncak dari kehidupan ‘Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih gemilang dan indah di waktu mudanya.
Barusan telah kita lihat dengan jelas bentuk kehidupan sahabat
yang mulia, ‘Umair bin Sa’ad, waktu dia masih kanak-kanak. Sekarang marilah kita
lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang saat dia telah diewasa. Anda akan
menyaksikan kehidupannya tahap kedua ini tidak kurang gemilangnya dari tahap
pertama, agung dan megah.
Penduduk Himsh sangat kritis terhadap para pembesar mereka,
sehingga mereka sering mengadu kepada khalifah. Setiap pembesar yang baru datang
memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Dicatatnya segala kesalahan pembesar
itu, lalu dilaporkannya kepada khalifah, dan minta diganti dengan yang lebih
baik.
Karena itu Khalifah Umar mencari seorang yang tidak bercacat,
dan yang namanya belum pernah rusak untuk menjadi Gubernur di sana. Lalu beliau
sebar pembantu-pembantunya melihat-lihat orang yang paling tepat. Maka tidak
diperolehnya orang yang lebih baik, selain dari Umair bin Sa’ad. Tetapi sayang,
‘Umair ketika itu sedang bertugas memimpin pasukannya berperang fi sabilillah di
wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil membebaskan beberapa kota,
menghancurkan beberapa benteng, mendudukkan beberapa kabilah, dan membangun
masjid di setiap negeri yang dilaluinya.
Saat seperti itulah Amirul Mu’minin memanggilnya kembali ke Madinah, untuk memangku jabatan Gubernur di Himsh. khalifah ‘Umar memerintahkannya supaya segera berangkat ke Himsh. ‘Umair menerima perintah tersebut dengan hati enggan, karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah.
Setibanya di Himsh, dipanggilnya orang banyak berkumpul ke
masjid untuk shalat berjama’ah. Selesai shalat dia berpidato. Mula-mula dia
memuji Allah dan mengucapkan salawat untuk Nabi. Kemudian dia berkata :
“Hai, manusia! Sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan
yang kokoh, dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan, dan pintunya
ialah kebenaran (al haq). Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, maka
pertahanan agama ini akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan
tegak dengan kokoh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula
dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang
hak.”
Selesai berpidato, dia langsung bertugas sesuai dengan
khiththah yang telah digariskannya dalam pidatonya yang singkat itu.
‘Umair bin Sa’ad bertugas sebagai Gubernur di Himsh hanya
setahun penuh. Selama itu tak sepucuk pun dia menulis surat kepada Amirul
Mu’minin. Dan tidak satu dinar atau satu dirham pun dia menyetorkan pajak ke
Baitul Maal Muslimin (Perbendaharaan Negara) di Madinah. Karena itu timbul
curiga di hati Khalifah Umar. Dia sangat kuatir kalau-kalau pemerintahan yang
dipimpin ‘Umair mengalami bencana (menyelewengkan uang negara) karena tidak ada
orang yang ma’shum (terpilihara dari dosa) selain Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam. Lalu beliau perintahkan sekretaris negara menulis surat kepada
Gubernur ‘Umair.
Kata Khalifah Umar, “Tulis surat kepada ‘Umair, katakan
kepadanya: “Bila surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkan Himsh dan
segera datang menghadap Amirul Mu’minin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang
Anda pungut dari kaum muslimin!”
Selesai surat tersebut dibaca oleh Gubernur ‘Umair, maka
diambilnya kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air
wudhu’ dalam perjalanan. Lalu dia berangkat meninggalkan Himsh, para pembesar
dan rakyat yang dipimpinnya. Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah dengan
berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah, keadaannya pucat (karena kurang
makan dalam perjalanan), tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya
sudah panjang, dan dia tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu
jauh.
‘Umair segera masuk menghadap Amirul Mu’minin Umar bin
Khatthab. Khalifah Umar terkejut melihat keadaan ‘Umair, lalu bertanya,
“Bagaimana keadaan Anda, hai ‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat dan ‘afiat. Alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.”
Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?”
(Khalifah menduga, dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Maal).
Jawab ‘Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu’, untuk membasahi kepala dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang Iain-lain tidak saya perlukan.”
Tanya Khalifah, “Apakah Anda datang berjalan
kaki?”
Jawab, “Betul, ya Amirul Mu’minin!”
Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh
pemerintah?”
Jawab, “Tidak! Mereka tidak memberi saya, dan saya tidak
pula memintanya dari mereka.”
Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul
Maal?”
Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul
Maal.”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Sejak saya mulai tiba di Himsh, saya kumpulkan
penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan
pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan
mereka, untuk apa harta itu harus digunakan, dan bagaimana cara
membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Khalifah ‘Umar berkata kepada jurutulis, ”Perpanjang masa
jabatan ‘Umair sebagai Gubernur Hismh!”
Kata ‘Umair, “Ma’af, Khalifah! Saya tidak menghendaki
jabatan itu lagi. Mulai sa’at ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda
atau untuk orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”
Kemudian ‘Umair minta izin untuk pergi ke sebuah di pinggiran
kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Lalu Khalifah
mengizinkannya.
Belum begitu lama ‘Umair tinggal di dusun tersebut, Khalifah
‘Umar ingin mengetahui keadaan sahabatnya itu, bagaimana kehidupannya dan apa
yang diusahakannya. Lalu diperintahkannya Al Harits, seorang kepercayaan
Khalifah, “Pergilah engkau menemui ‘Umair, tinggallah di rumahnya selama
tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya bahagia penuh ni’mat,
kembalilah sebagaimana engkau datang. Dan jika engkau lihat keadaannya melarat,
berikan uang ini kepadanya!”
Khalifah ‘Umar memberikan sebuah pundi berisi seratus dinar
kepada Al Harits.
Al Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia
bertanya-tanya ke sana-sini di mana rumah ‘Umair. Setelah bertemu, Al Harits
mengucapkan salam, ”Assalamu’alaika wa rahmatullah.”
Jawab ‘Umair, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa
barakatuh. Anda datang dari mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya ‘Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal
anda?”
Jawab Harits, “Baik-baik saja.”
Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mu’minin?”
Jawab, “Alhamdulillah, baik.”
Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”
Jawab, “Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dera
anaknya sendiri sampai mati, karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata ‘Umair, “Wahai Allah, tolonglah ‘Umar. Saya tahu
sungguh, dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al Harits menjadi tamu ‘Umair selama tiga malam. Tiap malam
Harits hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga,
seroang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah
menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa selain roti yang
disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih mementingkan Anda, walaupun dia
sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda
pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
Al Harits mengeluarkan pundi-pundi uang dinar, lalu
diberikannya kepada ‘Umair.
Tanya ‘Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, ”Amirul Mu’minin mengirimkannya untuk
Anda!”
Kata ‘Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau.
Sampaikan salamku, dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan
uang itu.”
Isteri ‘Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits
berteriak, “Terima saja, hai ‘Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau dapat
membelanjakannya.
Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”
Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”
Mendengar ucapan isteri ‘Umair, Harits meletakkan uang itu di
hadapan ‘Umair, kemudian dia pergi. ‘Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya
ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur sampai tengah malam sebelum
uang itu habis dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat
diutamakannya memberikan kepada ank-anak yatim yang orang tuanya tewas sebagai
syuhada’ di medan perang fi sabilillah.
Al Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah, Khalifah
‘Umar bertanya, “Bagaimana keadaan ‘Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan, ya Amirul Mu
minin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu
kepadanya?”
Jawab, “Ya, sudah ku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin
hanya tinggal satu dirham saja lagi untuknya.”
Khalifah ‘Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila
surat ini selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang
menghadap saya.”
‘Umar bin Sa’ad datang ke Madinah memenuhi panggilan khalifah.
Sampai di Madinah dia Iangsung menghadap Amirul Mu’minin. Khalifah ‘Umar
mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada
‘Umair, sebagai penghormatan.
Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai
‘Umair?”
Jawab ‘Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu
Anda berikan kepadaku?”
Jawab khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau
menceritakannya.”
Jawab ‘Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri, dan
akan saya manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak
bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”
Mendengar jawaban ‘Umair, Khalifah ‘Umar menangis sehingga air
matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, bahwa sesungguhnya
Anda tergolong orang-orang yang mementingkan orang-orang lain sekalipun diri
Anda sendiri melarat.”
Kemudian khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasq (Satu
Wasq, kira-kira enam puluh sha’ (gantang), atau kira-kiia seberat beban seekor
unta) pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikan-nya kepada ‘Umair.
Kata ‘Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul
Mu’minin. Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya.
Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi rezki
untuk kami. Tetapi pakaian ini saya terima untuk isteri saya, karena pakaiannya
sudah terlalu usang, sehingga dia hampir telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan ‘Umair dengan khalifah, maka Allah
mengizinkan ‘Umair untuk bertemu dengan Nabi yang sangat dicintai dan
dirindukannya, yaitu Muhammad bin ‘Abdullah,
Rasulullah, ‘Umair pergi menempuh jalan akhirat, mempertaruhkan
jiwa raganya dengan langkah-langkah yang senantiasa mantap. Dia tidak membawa
beban berat di punggung, berupa kemewahan dunia. Tetapi dia pergi dengan cahaya
Allah yang selalu membimbingnya, wara’ dan taqwa.
Ketika Khalifah ‘Umar mendengar kematian ‘Umair, bukan main
main sedihnya, sehingga dia mengurut dada karena menyesal. Kata khalifah,
“Saya membutuhkan orang-orang seperti ‘Umair bin Sa’ad, untuk membantu saya
melola masyarakat kaum muslimin.”
- Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar